Bermain bersama anak-anak lugu di kampung Nyaolako pedalaman Halmahera sana, kami menjadi tahu, kalau mereka pun ternyata tahu akan jenis-jenis burung, tahu akan jenis-jenis pohon yang tumbuh di hutan, tahu kalau ada yang menangkap burung dan menjual dengan harga yang sangat-sangat murah. Mereka tahu kalau di belakang kampung mereka mengalirair dengan skala debit maha dahsyat dari sungai Lolobata. Mereka tahu itu. Tapi hanya sebatas tahu. Tak lebih hebat dari upaya orang dewasa untuk berpikir prefentif menyelamatkan hutan, menyelamatkan satwa liar, menyelamatkan sumber air, menyelamatkan hidupan ekosistem hutan, apalagi berpikir tentang kebutuhan anak-cucu, benar-benar sebuah harapan yang jauh panggang dari api untuk kategori kelas bocah.
Suasana bermain bersama anak di SD Negeri Puao, Kec. Wasile Tengah, Kab. Halmahera Timur
Nun jauh di pedalaman Halmahera, tepatnya di Desa Nyaolako, Kecamatan Wasile Tengah, Kabupaten Halmahera Timur, Propinsi Maluku Utara.
Kami mendekat ke sebuah sekolah dasar inpres. Letaknya tidak jauh dari rumah kepala desa yang beberapa langkah saja ke depan hamparan pasir putih memanjang hampir sekilo panjangnya.
Anak-anak sedang asyik bermain di Jumat pagi itu. Sebagian lain bersih-bersih halaman. Ada dua balai bengong di depan ruang kelas. Halaman bersih. Kepala sekolah dan empat guru bantunya sedang duduk santai di salah satu balai bengong itu.
-
Suasana bermain bersama anak di SD Inpres Nyaolako
Siswa kelas empat, lima dan enam berkumpul di satu ruang kelas. Semua berjumlah dua puluh delapan. Para siswa diajak bercerita tentang alam, tentang lingkungan hidup, tentang bagaimana melestarikan alam dan menjaga kesehatan lingkungan sekitar, tentang kekayaan flora dan fauna di hutan, tentang burung-burung sebagai satwa liar yang harus dilindungi, tentang pohon di hutan yang harus dilindungi, dan tentang semua kekayaan alam khas maluku utara yang harus dilindungi dan dilestarikan.
Anak-anak antusias mendengar informasi tentang kekayaan alam hutan Halmahera. Tak satu pun ketinggalan mengacungkan tangan ingin menulis di papan tulis, nama burung yang diketahuinya. Ada yang menuliskan nama burung dalam bahasa Indonesia, ada juga yang menulis dalam bahasa lokal (bahasa setempat).
Salah satu siswa SD Inpres Nyaolako sedang menulis jenis-jenis burung di papan tulis kelas
Dalam sekejap, papan tulis telah dipenuhi daftar panjang nama-nama burung yang diketahui anak-anak, seperti: kakatua putih, nuri, taong, maleu, cingkole, elang, gagak, dan lain-lain. Mereka pun menuliskan tentang semua komponen ekosistem hutan yang mereka ingat, seperti: tumbuhan, hewan, pohon, kayu, buah, tanah, kelapa, air, babi hutan, rusa, dan lain-lain.
Pak Aep Gun Gun Wigandi dari Balai TN Aketajawe Lolobata, Prop Maluku Utara sedang memfasilitasi kegiatan bermain bersama anak
Siang itu anak-anak benar-benar menikmati suanana bermain bersama. Suasana di mana anak-anak bermain tanpa merasa digurui, tanpa merasa didikte, dan tanpa merasa ditekan. Dalam situasi informal, mereka telah menggarap begitu banyak informasi, mengantongi banyak informasi baru dan menarik.
Anak-anak SD Inpres Kakaraino dalam suasana bermain menyusun puzzle
Tidak sampai di situ saja. Anak-anak diajak menyusun gambar (puzzle) yang telah digunting per bagian tercerai-berai. Mereka bekerja dalam tim untuk menyusun kepingan gambar menjadi sebuah gambar utuh. Berhasil. Sebuah gambar burung Kakatua Putih dan Kasturi Ternate. Setelah itu, kepingan gambar ditempel-satukan pada selembar kertas A-tiga. Mereka ramai sekali. Masing-masing kelompok berusaha mewarnai gambar dengan paduan warna paling menarik mendekati warna asli pada gambar yang ditempel di depan kelas.
Guru-guru pun tak ketinggalan ikut-ikutan bermain bersama anak didiknya. Ada kelompok yang sedikit lamban menyatukan kepingan-kepingan gambar, sebentar-sebentar ada seorang guru yang sedikit bersembunyi di balik kerumunan siswa, memberikan arahan agar anak-anak cepat menyelesaikan puzzle tersebut.
Ramai sekali anak-anak di siang terik itu. Keterbatasan spidol dan pensil warna melahirkan suasana tarik-menarik dan saling rebutan di antara anak-anak, hanya untuk memberikan ‘warna burung terbaik’ sebagai sebuah kesan puas kepada gurunya. Ada kelompok yang hasil pewarnaan melenceng jauh dari warna asli burung di alam. Itu bukan karena ketidaktahuan tapi alasan keterbatasan sarana dan kejenuhan untuk lebih lama antri dan menunggu.
Anak-anak itu cerdas! Ternyata mereka tahu jenis-jenis burung yang sering mereka jumpai dalam keseharian, baik itu sebutan dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa lokal. Mereka tahu apa yang ada di belakang kampungnya. Di belakang sana, maha luas terbentang berpuluh kilo meter panjangnya, berderet-deret pohon di dataran, lereng sampai ke puncak bukit dan gunung, yang mereka sebut hutan. Mereka tahu, orang-orang sekampungnya bertani kelapa berdusun-dusun sampai ke kaki gunung yang berhutan lebat itu.
Salah satu kelompok bermain anak di SD Negeri Puao sedang mewarnai puzzle yang telah berhasil disusun
Tanpa bermain bersama mereka, kita tak mungkin tahu kalau anak-anak lugu di kampung Nyaolako pedalamanHalmahera ini tahu akan jenis-jenis burung, tahu akan jenis-jenis pohon yang tumbuh di hutan, tahu kalau ada yang menangkap burung dan menjual dengan harga yang sangat-sangat murah. Mereka tahu kalau di belakang kampung mereka mengalir air dengan skala debit maha dahsyat dari sungai Lolobata. Mereka tahu itu. Tapi hanya sebatas tahu. Tak lebih hebat dari upaya orang dewasa untuk berpikir prefentif menyelamatkan hutan, menyelamatkan satwa liar, menyelamatkan sumber air, menyelamatkan hidupan ekosistem hutan, apalagi berpikir tentang kebutuhan anak-cucu, sebuah harapan yang masih jauh panggang dari api untuk kategori kelas bocah.
Salah satu kelompok kerja siswa di SD Inpres Nyaolako dengan hasil kerja terbaik mereka
Tapi, semangat yang tetap memberi harapan adalah, minimal satu dari kedua puluh delapan anak usia sekolah ini akan mematri pengalaman bermain ini sampai usia remaja, dewasa, bahkan tua. Kapan pun, di mana pun, bahkan dengan siapa pun, seorang bocah itu akan terus berpikir tentang ada begitu banyak nama burung yang disebutkan kawan-kawan saya di kelas saat itu: ada burung taong, ada pambo, ada kakatua, ada nuri, dan lain-lain. Dan menurut bapak-bapak itu, burung-burung ini tidak boleh ditangkap. Tidak boleh dijual. Biar mereka bebas hidup di alam. Menurut bapak-bapak itu, jangan terus-menerus tebang pohon, nanti hutan gundul, tanah terkikis, air meluap, dan kampung saya bisa kena bahaya banjir. Kalau pohon-pohon tinggi ditebang semua, burung kakatua tidak punya tempat lagi untuk bertelur, menetas dan berkembang biak, dan pada akhirnya punah!
Setidaknya harapan inilah yang bisa disandarkan pada seorang bocah dari dua puluh delapan siswa yang bermain bersama di siang terik itu.
Siang itu mereka tak berseragam, dan mungkin juga ada yang tak sempat mandi dan sarapan, seperti halnya kebanyakan anak-anak usia sekolahan sekelas mereka yang kita jumpai di kota-kota. Ruang kelas mereka pun tak ramai dipenuhi fasilitas dan alat peraga pendidikan lainnya. Sepi. Kering. Pengap dan sedikit kesan kumuh karena di bagian belakang ruang kelas, ada setumpuk meja dan kursi rusak. Sepintas kesan, anak-anak ini tentunya sepi kreativitas sesepi ruang kelasnya. Ternyata tidak! Mereka ‘nyambung’ juga ketika diajak bermain dan bercerita tentang alam, tentang hidupan alam liar, tentang hutan, tentang air, dan tentang lingkungan sekitar. Kurang lebih dua jam bermain bersama anak-anak, tidak ada yang yang salah dari mereka. Apa yang mereka katakan, benar semuanya, apa pun itu! Ada yang ditertawai teman saat bicara, tetapi mereka lebih percaya diri bercerita tentang sesuatu yang salah, karena gurunya memberi motivasi ekstra untuk berani bicara! Pada gilirannya, semua ramai-ramai acungkan tangan, ramai-ramai bicara, ramai-ramai membuat kesalahan, dan ramai-ramai diperbaiki oleh sang ahlinya, ‘guru’.
Di atas meja guru, bertumpuk-tumpuk buku referensi mata pelajaran. Ada buku ‘IPA dibuat Asyik, Penerbit pe-te armandelta, ada buku cerita ‘si dul anak betawi’, ada buku cerita ‘pendekar dari aceh’, dan ada buku matematika – mari berhitung, karangan Djoko Moesono dan Sujono tahun 1993 (sekarang tahun 2011).
Di saat siswa mulai bosan dengan cerita si dul anak sekolahan, guru mulai ‘ngarang’ cerita tentang seorang wanita tangguh dari Pumlanga (sebuah kampung nun jauh tersudut Pulau Halmahera) yang berjuang berjalan berpuluh kilo meter jauhnya untuk bisa sekolah – seperti Laskar Pelanginya Andrea Hirata lah kira-kira.
Di saat anak-anak mulai jenuh dengan cerita pendekar dari aceh, guru bisa bercerita tentang suku orang tobelo dalam atau togutil yang tangguh, yang survive hidup, dan yang jauh lebih beradab menjaga hutan rimba raya Halmahera.
Biar anak-anak tidak menebak secara liar dan imajiner, di mana si dul, bagaimana dengan akhir cerita pendekar aceh. Melokalkan tempat dan peristiwa yang dibumbui aneka pesan kearifan lokal, jauh lebih membumi dan membuat anak lebih akrab dengan cerita, dan membuat anak lebih cepat mengolahnya.
Pelestarian alam! Restorasi ekosistem! Sebegitu besar harapan mulia yang bisa disandarkan pada sang anak!
Sosialisasi, informasi, dan kegiatan penyadartahuan juga dilakukan bagi siswa-siswi SMP dan SMA yang berada di lingkar Taman Nasional Aketajawe Lolobata, Halmahera, Maluku Utara.
SMP Negeri 6 Silalayang, pada kegiatan penyadartahuan bagi siswa di sekolah
SMA Negeri Lolobata, dalam kegiatan penyadartahuan bagi siswa di sekolah
SMP Negeri Hilaitetor, dalam kegiatan penyadartahuan bagi siswa di sekolah
Posting disadur ulang dari sumber :
http://green.kompasiana.com/penghijauan/2011/10/21/sebuah-haparan-yang-bisa-disandarkan-pada-anak/